PT BestProfit - Obat-obatan berbahaya yang rentan disalahgunakan kemungkinan masih akan bebas beredar. Sebab, Badan Narkotika Nasional (BNN) tidak bebas menindak pelanggaran tersebut karena sejumlah obat belum masuk dalam daftar narkoba.
Penindakan peredaran obat berbahaya tersebut hanya bisa dilakukan Kementerian Kesehatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), serta Polri. Penyalaguna juga hanya bisa dijerat dengan UU Kesehatan.
Juru Bicara BNN Kombes Slamet mengatakan, lembaganya bisa menindak jika obat-obatan itu telah ditetapkan sebagai narkoba.
Slamet mengatakan, BNN tidak berwenang menangani penyalagunaan psikotropika. "Kecuali kalau psikotropika itu sudah diangkat sebagai narkoba," kata Slamet.
Selama ini Balai Laboratorium Uji Narkoba milik BNN telah menemukan peredaran 43 new psychoactive substances (NPS). Dari jumlah itu baru 18 zat yang diakomodir sebagai narkoba melalui Peraturan Menteri Kesehatan 13 / 2014.
"Yang hanya bisa kami lakukan adalah terus mendorong agar 43 itu semuanya diangkat sebagai narkoba. Dari situ kami bisa menindak," katanya.
Meskipun demikian, sejauh ini BNN juga belum banyak mengungkap kasus penyalagunaan obat-obat berbahaya yang memiliki kandungan di antara 18 zat yang baru digolongkan sebagai narkoba. "Ya mungkin masih baru jadi peredarannya juga tidak banyak terungkap," ujar Slamet.
Ketua Komisi IX (membidangi kesehatan) Dede Yusuf menuturkan, obat-obatan keras atau yang masuk dalam daftar obat G (gevaarlijk = berbahaya) tidak bisa divonis langsung sebagai narkoba sehingga peredarannya dilarang.
"Obat-obatan seperti Xanax dan Opizolam itu sudah dijual di apotek-apotek sejak saya kecil," katanya kemarin.
Dede mengatakan, ada regulasi khusus dalam rantai penjualan obat daftar G itu. Yakni tidak bisa langsung dibeli pasien tanpa melalui resep dokter. Jika ada masyarakat yang bisa mengakses dengan mudah obat-obatan itu, apoteknya lah yang harus dievaluasi.
Dia menambahkan, obat penenang seperti Xanax dan Opizolam sering diresepkan dokter kepada orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Bahkan obat-obat untuk orang susah tidur juga masuk kategori obat daftar G Sehingga tidak bisa dijual secara bebas tanpa resep dokter.
Obat-obatan daftar G itu secara resmi memang digunakan dokter untuk pengobatan. Tetapi ketika dibeli tanpa resep dokter dan dikonsumsi berlebihan bisa menimbulkan efek seperti obat-obatan terlarang. Bahkan obat batuk seperti dextro, jika sering dikonsumsi berlebihan bisa menimbulkan efek fly.
Dia berharap pihak apotek disiplin untuk menjual obat-obatan daftar G itu. Jika masih ada apotek yang membandel, BPOM harus mengawasi dan menjatuhkan sanksi. Menjual obat daftar G secara sembarangan bisa dijatuhi denda Rp 100 juta.
Peredaran obat berbahaya yang dijual bebas di dunia maya membuat geleng-geleng pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Mereka berharap pemerintah bisa berperan lebih aktif untuk mengedukasi masyarakat. Sekaligus juga melakukan langkah yang lebih konkrit untuk menghentikan penjualan obat berbahaya itu
sumber: rakyatsulsel.com
Penindakan peredaran obat berbahaya tersebut hanya bisa dilakukan Kementerian Kesehatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), serta Polri. Penyalaguna juga hanya bisa dijerat dengan UU Kesehatan.
Juru Bicara BNN Kombes Slamet mengatakan, lembaganya bisa menindak jika obat-obatan itu telah ditetapkan sebagai narkoba.
Slamet mengatakan, BNN tidak berwenang menangani penyalagunaan psikotropika. "Kecuali kalau psikotropika itu sudah diangkat sebagai narkoba," kata Slamet.
Selama ini Balai Laboratorium Uji Narkoba milik BNN telah menemukan peredaran 43 new psychoactive substances (NPS). Dari jumlah itu baru 18 zat yang diakomodir sebagai narkoba melalui Peraturan Menteri Kesehatan 13 / 2014.
"Yang hanya bisa kami lakukan adalah terus mendorong agar 43 itu semuanya diangkat sebagai narkoba. Dari situ kami bisa menindak," katanya.
Meskipun demikian, sejauh ini BNN juga belum banyak mengungkap kasus penyalagunaan obat-obat berbahaya yang memiliki kandungan di antara 18 zat yang baru digolongkan sebagai narkoba. "Ya mungkin masih baru jadi peredarannya juga tidak banyak terungkap," ujar Slamet.
Ketua Komisi IX (membidangi kesehatan) Dede Yusuf menuturkan, obat-obatan keras atau yang masuk dalam daftar obat G (gevaarlijk = berbahaya) tidak bisa divonis langsung sebagai narkoba sehingga peredarannya dilarang.
"Obat-obatan seperti Xanax dan Opizolam itu sudah dijual di apotek-apotek sejak saya kecil," katanya kemarin.
Dede mengatakan, ada regulasi khusus dalam rantai penjualan obat daftar G itu. Yakni tidak bisa langsung dibeli pasien tanpa melalui resep dokter. Jika ada masyarakat yang bisa mengakses dengan mudah obat-obatan itu, apoteknya lah yang harus dievaluasi.
Dia menambahkan, obat penenang seperti Xanax dan Opizolam sering diresepkan dokter kepada orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Bahkan obat-obat untuk orang susah tidur juga masuk kategori obat daftar G Sehingga tidak bisa dijual secara bebas tanpa resep dokter.
Obat-obatan daftar G itu secara resmi memang digunakan dokter untuk pengobatan. Tetapi ketika dibeli tanpa resep dokter dan dikonsumsi berlebihan bisa menimbulkan efek seperti obat-obatan terlarang. Bahkan obat batuk seperti dextro, jika sering dikonsumsi berlebihan bisa menimbulkan efek fly.
Dia berharap pihak apotek disiplin untuk menjual obat-obatan daftar G itu. Jika masih ada apotek yang membandel, BPOM harus mengawasi dan menjatuhkan sanksi. Menjual obat daftar G secara sembarangan bisa dijatuhi denda Rp 100 juta.
Peredaran obat berbahaya yang dijual bebas di dunia maya membuat geleng-geleng pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Mereka berharap pemerintah bisa berperan lebih aktif untuk mengedukasi masyarakat. Sekaligus juga melakukan langkah yang lebih konkrit untuk menghentikan penjualan obat berbahaya itu
sumber: rakyatsulsel.com